Kota Tua
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Museum Fatahilah |
Pada periode ini akan diulas peran Bung Karno dalam pengembangan kota semarang bagian tengah dengan dibangunnya simpang lima. Bagaimanakah implementasi perencanaan kota pada era pasca Kolonial?.Periode terakhir yang akan dibahas adalah periode 1965-1970. Jatuhnya Bungkarno dan naiknya Soeharto adalah pudarnya sosialisme. Pada periode ini akan dibahas bagaimana modal menguasai kota dan perencanaan kota yang dikendalikan oleh pemilik modal. Tentu saja akan diulas mengenai perencanaan perumahan Tanah Mas dan penghancuran berbagai bangunan kuna di kota Semarang.
1
Wisata budaya (cultural tourism) kini semakin mendapat tempat di hati wisatawan. Budaya selalu menjadi obyek wisata utama di seantero dunia. Namun sekitar tiga dasawarsa lalu, tren wisata budaya mulai terpecah, wisatawan mulai tertarik juga pada hasil peninggalan masa lampau yang menempel pada dinding-dinding bangunan di kota bersejarah, kota tua pada setiap negara yang mereka kunjungi. Tren wisata itu diberi nama heritage tourism atau cultural heritage tourism.
Heritage, atau warisan berupa berbagai peninggalan dalam segala bentuk, penting bukan hanya sebagai sebuah identitas kota dan negara tapi juga bernilai ekonomi serta memberi dampak sosial. Budaya merekatkan manusia untuk mencipta saling pengertian yang membawa pada kedamaian dan keharmonisan. Wisata heritage pada akhirnya juga membantu memelihara dan melestarikan heritage/warisan itu sendiri.
Di dalam setiap kota tua masih lekat menempel sejarah sang kota, perjalanan hidup kota berabad lalu masih bisa terbaca hingga detik ini melalui bangunan tua, jalur kereta api, jembatan, kanal, kuliner, folklore, tradisi dan segala yang masih terus dilestarikan.
Kerutan di wajah sebuah kota tua, yang terpelihara apik, menjadi begitu menarik dan merangsang wisatawan untuk datang, tak sekadar menjenguk, mengenang, tapi juga mencoba memahami mengapa sebuah peristiwa terjadi pada satu kurun waktu. Kemudian, bisa kekaguman yang muncul atau dalam kisah tertentu, berharap kejadian buruk di masa lalu tak terulang kembali.
Warisan yang ada di setiap kota di dunia memiliki arti penting yang berbeda bagi penduduk kota itu sendiri, penduduk di negara di mana sebuah kota berada, atau bahkan bagi dunia.
Arti sebuah warisan bisa positif atau negatif. Warisan masa lalu, tak selalu berupa kejayaan yang membanggakan bagi generasi di masa kini namun seringkali juga mendatangkan rasa malu, kebencian, seperti pada masa kelam Jerman dan Eropa pada umumnya ketika Hitler berlagak menjadi Tuhan dan membantai orang Yahudi. Begitu banyak warga Jerman ingin melupakan warisan yang ditinggalkan Hitler. Tapi bagaimanapun, orang tak bisa melupakan sejarah mereka, baik yang membanggakan maupun yang memilukan.
Auschwitz atau Oswiescim yang masuk dalam World Heritage Sites UNESCO adalah salah satu peninggalan yang dilestarikan. Warga dunia ternyata lebih banyak yang memilih untuk tidak melupakan sejarah terkelam manusia di abad 20 melalui kamp pembantaian Yahudi di Polandia ini. Melalui Auschwitz, dunia diingatkan agar lakon ini tak pernah lagi dipentaskan pada panggung dunia manapun.
Berlin masih menyimpan reruntuhan tembok, perlambang runtuhnya komunisme, yang dihancurkan pada 1989. Gerbang Brandenburg menanti wisatawan yang ingin menatap pintu gerbang pertanda damai dari Raja Frederik William II dari Prussia dan dibangun oleh Carl Langhans yang kini jadi landmark Berlin - bahkan Eropa. di Koln berdiri tegak Katedral Koln atau Kõlner Dom sebagai tengara kota yang dibangun di sekitar abad 12.
Kota tertua di Belanda, Maastricht, yang sudah ada sejak zaman Romawi dan sempat hanya menjadi kota kecil di ujung Selatan Belanda, kini bersinar sebagai kota budaya dengan peninggalan dari abad 12 yang masih bisa dilihat, tembok kota, gerbang kota, dan benteng.
Sebagai kota benteng, Maastricht mempertahankan warisan itu hingga kini. Sejak 1992, di mana Maastricht menjadi kota kelahiran Uni Eropa lewat Perjanjian Maastricht (The Treaty of Maastricht), kota ini makin berkilap sebagai kota tujuan turis mancanegara. Pemerintah setempat sadar betul, koceknya makin gemuk dengan kedatangan turis. Goa, St Pietersberg Cave, yang sudah ada sejak sebelum Masehi pun masih terawat lengkap dengan peninggalan sketsa dan lukisan di dinding. Di masa Hitler, goa ini menjadi tempat persembunyian.
Intinya, mereka melek heritage. Warisan berabad silam dilestarikan bukan hanya demi memenuhi rasa penasaran para turis tapi juga demi pengembangan heritage itu sendiri.
Di beberapa negara seperti Inggris, Skotlandia, Australia, dan Amerika Serikat, tur hantu pun digelar. Biasanya mereka menyasar bangunan tua.
Dari Asia, Korea Selatan penuh dengan kuil yang dibangun bahkan sejak sebelum Masehi. Kota bersejarah Gyeongju, Kuil Bulguksa, dan pertapaan Seokguram Grotto semua masuk dalam daftar World Heritage Sites UNESCO. Kawasan Gyeongju sudah ada sejak tahun 57 sebelum Masehi. Gyeongju adalah bekas ibukota Kerajaan Silla yang sudah berkembang sejak awal milenium. Tak pelak, peninggalan arkeologi di kawasan ini mengambil lahan yang cukup luas, sekitar 1.300 km2. Sedangkan Kuil Bulguksa, kuil penganut Buddha, dibangun juga pada masa Kerajaan Silla pada sekitar tahun 580-an. Seokguram Grotto adalah salah satu bagian dari kompleks Kuil Bulguksa yang mulai didirikan pada tahun 742.
Bicara soal Korea Selatan, sekitar dua pekan lalu seorang rekan lama dari Seoul melempar surat elektronik ke Warta Kota. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar, lantas mulailah diskusi tentang wisata heritage. Kemudian dia menulis, "Pemerintah Seoul sedang membangun kafe di jembatan Sungai Han. Bayangkan, secangkir kopi sambil memandang Sungai Han dan air mancur menari. Kalau malam, waaaaah... romantis. Dan ini dibikin untuk menarik turis."
Menarik turis berarti menyedot uang dari kocek para turis agar masuk ke Seoul. Sebuah upaya dan kemauan luar biasa dari pemerintah Seoul untuk mewujudkan janji mereka pada dunia, menampilakan Seoul sebagai Soul of Asia.
Bergerak ke negara tetangga Indonesia, Malaysia, ada Malaka yang tahun lalu masuk dalam daftar World Heritage Sites. Intinya, semua berlomba memelihara dan melestarikan warisan terpenting mereka sekaligus mengelolanya dengan baik.
Pada akhirnya memang, nilai ekonomi heritage begitu terasa langsung bagi kota dan penduduknya. Kafe, restoran, hotel, toko suvenir, pedagang tradisional semua terkena dampak berputarnya uang. Selain itu, keberlangsungan sebuah kota -lengkap dengan peninggalan sejarah dan budaya- terjaga bagi generasi selanjutnya.
Lantas, apa kabar Jakarta? Di usia yang menjelang 500 tahun, dalam rentang waktu yang kurang dari 20 tahun ke depan, Jakarta masih saja berantakan. Sudahkah Jakarta menciptakan citranya sebagaimana kota-kota lain di dekatnya?
Kawasan bersejarah Jakarta yang sedang dalam proses dihidupkan kembali kini terkesan dhedhel dhuwel. Mandek bukan hanya karena masalah pembangunan fisik, dan pembenahan ulang -karena dalam waktu dua tahun sudah babak belur lagi sehingga harus tambal sulam- tapi juga karena tak jelas arah revitalisasi itu. Terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak cakap, minim tindakan.
Padahal, potensi kawasan bersejarah/kota tua Jakarta tak terkatakan. Tengok saja sejarah kota ini. Bermula dari Sunda Kelapa di seputar abad 12 kemudian berganti nama menjadi Jayakarta pada 1527, berubah lagi menjadi Batavia pada 1619 di masa VOC, dan terakhir Jakarta pada 1942.
Sejarah panjang itu bermula di kawasan yang kini disebut kawasan lama atau kawasan bersejarah atau kota tua. Seluruh kawasan tempat di mana Batavia berawal ini ditetapkan sebagai situs dan dilindungi oleh SK Gubernur DKI Jakarta No 475/1993 mengenai bangunan cagar budaya di DKI Jakarta yang harus dilestarikan.
Menurut Candrian Attahiyat, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua, sesuai Peraturan Gubernur No 34 Tahun 2006 tentang penguasaan, perencanaan, penataan kota tua, luas kawasan bersejarah atau kota tua Jakarta adalah 846 hektar. Batas sebelah Selatan adalah Gedung Arsip, batas Utara adalah Kampung Luar Batang, batas Timur Kampung Bandan, dan batas Barat di Jembatan Lima.
Di kawasan itu saja ada lebih dari 200 bangunan tua yang dimiliki BUMN, DKI Jakarta, swasta, dan perseorangan. Kondisinya? Lebih banyak yang menunggu ajal.
Selain empat museum milik DKI Jakarta, Museum Sejarah Jakarta yang menempati bekas gedung balai kota di masa Batavia; Museum Wayang; Museum Seni Rupa dan Keramik; dan Museum Bahari, kawasan ini juga memiliki dua museum perbankan, Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia.
Di seputaran bekas pusat Batavia, ada bangunan Stasiun Jakarta Kota atau Beos yang pembangunannya kelar pada 1929. Menyusur kanal membayangkan awal abad 19 di mana kawasan Kali Besar tenar sebagai pusat bisnis, bisa jadi alternatif lain. Bangunan-bangunan tua di sisi kiri dan kanan kanal menjadi saksi sebagain sejarah Jakarta.
Lebih ke Utara, ada sisa tembok Batavia, ada pula kampung yang seharusnya tetap lestari sebagai Kampung Tugu. Kampung ini masuk sebagai kawasan yang dilestarikan dalam SK Gubernur DKI No 475/1993. Disebut demikian karena, menurut Adolf Heuken, penulis sejarah Jakarta, di kawasan ini ditemukan Prasasti Tugu - peninggalan arkeologis tertua yang membuktikan pengaruh Hindu di Jawa Barat.
Di kampung ini pula para mardijkers - tahanan yang sudah dibebaskan, dimerdekakan oleh Belanda - tinggal. Mereka kebanyakan keturunan Portugis.
Gereja Tugu yang pertama kali dibangun pada 1670-an, masih berdiri di sana. Kampung ini juga menyimpan warisan kuliner seperti dendeng tugu dan pindang srani tugu yang semua sudah punah bersama punahnya Kampung Tugu. Kampung yang harusnya lestari seperti apa adanya, kini hanya menyisakan keroncong tugu. Selebihnya, kini kawasan itu jadi tempat antrean truk konteiner.
Untuk menyasar wisata kuliner, kota tua masih memiliki kawasan yang paling beken. Kawasan itu tak lain adalah Pancoran, Glodok. Ingin ke pulau, bergeser sedikit ke Teluk Jakarta ada Kepulauan Seribu dengan Taman Arkeologi Pulau Onrust - pulau yang sibuk/tak pernah istirahat - yang terdiri atas Pulau Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari.
Tentu saja Indonesia tak hanya punya Jakarta. Kota-kota lain di Pulau Jawa seperti Banten, Cirebon, Bandung, Yogyakarta, Semarang hingga kota-kota di luar Pulau Jawa menyimpan warisan tersendiri.
Yang perlu diingat bahwa bahkan dari segelas bir, secangkit kopi atau teh, sepotong es krim, semangkuk soto, atau patahan tembok tua, kita bisa kembali ke ratusan bahkan ribuan tahun lalu.
Museum Sejarah Jakarta atau yang sering disebut Museum Fatahillah, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan juga kawasan Jalan Kalibesar. Daerah ini menjadi saksi sejarah Indonesia terutama kota Jakarta. Yuk, kita simak jalan-jalan Bravo! kali ini.
Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah)
Dulu, Museum Sejarah Jakarta merupakan Balai kota, yang dalam bahasa Belandanya disebut Staadhuis. Bangunan ini dibangun dari tahun 1707 hingga tahun 1710. Pada tahun 1970 bangunan ini direnovasi dan kemudian diresmikan pada tahun 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Selain menjadi Balai kota, bangunan ini juga berfungsi sebagai Dewan Kotapraja atau College van Schepen. Dewan ini adalah dewan yang menangani perkara pidana dan perdata warga kota Batavia. Terdakwa yang akan diadili, terlebih dahulu mendekam di penjara yang berada di bawah tanah. Bagi yang terbukti melakukan kejahatan dan memberontak kepada Pemerintah Belanda akan mendapat hukuman gantung. Saat eksekusi hukuman gantung berlangsung, masyarakat sekitar diundang ke depan Staadhuis dengan cara membunyikan lonceng yang terdapat di atas bangunan. Hingga saat ini lonceng tersebut masih ada.
Bangunan Museum Sejarah terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat. Bangunan berlantai dua ini juga banyak menyimpan koleksi benda-benda peninggalan yang menggambarkan perkembangan Jakarta dari mulai zaman pra-sejarah hingga kini. Ada mata uang zaman VOC, perabotan rumah tangga seperti furnitur dari abad 17-19, meriam kuno, bendera zaman Fatahillah, lukisan-lukisan Raden Saleh, serta potret Gubernur Jenderal VOC.
Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di utaraJakarta ini sudah dikenal sejak abad ke-12. Kala itu, pelabuhan Sunda Kelapa ini adalah pelabuhan terpenting bagi Kerajaan Padjajaran. Banyak kapal layar niaga dari berbagai bangsa membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, anggur, dan lain-lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah.
Setelah masuknya Islam dan penjelajah dari bangsa Eropa, Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi rebutan. Hingga akhirnya, Pemerintah Belanda menguasai Pelabuhan Sunda Kelapa kurang lebih selama 300 tahun. Pada awal Pelabuhan Sunda Kelapa dikuasai Belanda, pelabuhan ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Kemudian pada tahun 1817, Pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter.
Setelah Indonesia merdeka, Pelabuhan Sunda Kelapa mengalami perubahan. Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa memiliki luas 760 hektar, ditambah dengan luas perairan 16.470 hektar yang terbagi menjadi dua, yaitu pelabuhan utama dan pelabuhan Kalibaru. Pelabuhan utama memiliki panjang 3.250 meter dan dapat menampung 70 perahu layar. Sedangkan pelabuhan Kalibaru memiliki panjang 750 meter dan mampu menampung kurang lebih 65 kapal antar pulau.
Kalibesar
Kalibesar merupakan nama jalan di daerah Jakarta Utara. Letaknya tidak jauh dari Museum Sejarah Jakarta. Dengan berjalan kaki dari Museum Sejarah Jakarta, kita hanya membutuhkan waktu lima menit saja untuk mencapai jalan Kalibesar ini.
Dulu pada abad ke-17, Jalan Kalibesar terkenal sebagai daerah pusat bisnis perdagangan yang cukup terkenal dan bergengsi. Jalan Kalibesar ini biasa disebut Grootegracht yang artinya kali besar, karena di jalan tersebut terdapat kali yang diapit jalan dan bangunan.
Selain pusat bisnis perdagangan, di Jalan Kalibesar juga banyak terdapat rumah penduduk Cina. Kali itu sendiri menjadi jalur lalu lintas kapal bongkar muat barang. Hingga akhirnya pada tahun 1740, terjadi kerusuhan di Jalan Kalibesar dan banyak rumah penduduk dibakar. Pada tahun 1870, Jalan Kalibesar dibangun kembali.
Di Jalan Kalibesar terdapat bangunan berlantai dua dan berwarna merah. Nggak heran kalau bangunan ini disebut Toko Merah. Bangunan ini sangat terkenal pada zaman dulu karena pernah ditinggali oleh beberapa Gubernur Jenderal VOC. Saat ini bangunan Toko Merah masih berdiri kokoh dan digunakan sebagai perkantoran.
Selain Toko Merah, di Jalan Kalibesar juga terdapat jembatan gantung yang diberi nama Jembatan Kota Intan. Jembatan yang dibangun pada tahun 1628 ini bisa diangkat dan diturunkan apabila ada kapal atau perahu yang lewat. Jembatan Kota Intan dilengkapi pengungkit untuk menaikkan sisi bawah jembatan. Apabila ada kapal atau perahu yang lewat, maka penjaga jembatan akan segera menarik pengungkit jembatan tersebut. Sekarang jembatan tersebut tidak bisa digunakan lagi karena umurnya yang sudah tua.
erjalan-jalan di suatu kota di Eropa, besar atau kecil, akan sering kita temukan daerah berkesan kuno dan tua. Menjadi cikal bakal lahirnya sebuah kota, kota tua memiliki banyak sekali bangunan tua dan bersejarah.
Di Eropa, bangunan-bangunan tua yang tersisa, bisa dirunut mulai jaman kekaisaran Romawi. Kota Trier misalnya, sebagian bangunan batu buatan bangsa Romawi masih menghiasi kota tua hingga saat ini.
Definisi kota tua atau kota sejarah tak hanya berlaku pada satu distrik atau sebagian kota saja, namun juga daerah-daerah sekitarnya di jaman pembentukannya. Hal ini biasanya diketahui dari denah kota kuno berkarakteristik khusus, serta masih adanya bangunan-bangunan utama (gereja, benteng, istana, balai, kota, gudang, dsb), tempat-tempat terbuka umum, siluet kota.
Kota tua bersejarah seringkali ditandai oleh gang-gang kecil berhubungan satu sama lain, serta bangunan batu bertulang (di Jerman disebut sebagai Fachwerkhaus). Daerah semacam ini bisa dikenali dengan adanya tembok batu di sekelilingnya, beserta menara-menara pengawas, dan gerbang kota. Karakteristik ini berasal dari abad pertengahan di Eropa. Dan kota-kota berciri seperti masih banyak kita temui di seputar Eropa. Di Jerman, kota-kota seperti Nuernberg dan Rothenburg ob der Tauber adalah sedikit contohnya.
Kota tua juga merupakan daerah yang paling lama dihuni di suatu tempat. Makanya terlihat lebih padat dibanding daerah-daerah di sekitarnya. Di masa kini daerah seperti ini biasanya merupakan daerah khusus bagi pejalan kaki, dan menjadi atraksi utama bagi para wisatawan.
Setelah perang dunia kedua, banyak sekali kota-kota tua di Jerman hancur oleh bom. Namun pemerintah tetap berusaha mempertahankan. Setiap kota ditawari, apakah akan membangun kembali sesuai dengan wajah aslinya (jika dokumen pendudkung masih ada), ataukah membangun kota-kota baru.
Keputusan ini diambil bukan karena masalah kemacetan, tapi lebih pada usaha penyelamatan kawasan. Beban lalu lintas di kawasan ini harus mulai dikurangi untuk mengurangi getaran pada bangunan tua. Selain itu, juga sebagai upaya menyatukan kawasan Museum Sejarah Jakarta (MSJ) dan Taman Fatahillah dengan Museum Seni Rupa dan Keramik.
Penutupan jalan yang sudah sekitar empat bulan lalu diusulkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua ini juga menciptakan udara yang lebih bersih di Taman Fatahillah dan sekitarnya.
”Penutupan ini untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung di kawasan Taman Fatahillah. Juga menyatukan kawasan yang selama ini dibelah oleh Jalan Pos Kota. Lihat kan, Museum Keramik sepertinya terpisah dari museum yang lain,” ujar Kepala Bidang Teknis Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dishub DKI Muhammad Akbar kepada Warta Kota, Minggu (19/4).
Dari pengalaman Warta Kota, Jalan Pos Kota tak pernah sepi kendaraan. Kendaraan seperti memacu kecepatan di jalan ini. Alhasil, untuk menyeberang dari Taman Fatahillah ke Museum Seni Rupa dan Keramik atau sebaliknya sungguh bikin repot.
Untuk Jalan Kali Besar Timur 3 dan Jalan Kunir, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI hanya menutup sisi selatan, yakni jalan yang berdekatan dengan sejumlah bangunan tua bahkan bersentuhan dengan Taman Fatahillah.
Dengan penutupan tersebut, lanjut Akbar, maka kendaraan dari arah Jalan Kali Besar atau Jalan Kopi yang akan memutar ke arah Jalan Pintu Besar Selatan atau ke arah Manggadua/Ancol diarahkan untuk melewati Jalan Kali Besar Timur 3 dan Jalan Kunir di sisi utara—tidak menusuk ke tengah dan tidak menuju ke Jalan Pos Kota. Selanjutnya masuk ke Jalan Ketumbar, Jalan Lada, dan masuk ke Jalan Lapangan Stasiun (ke jalan di depan Stasiun KA Jakartakota) .
Untuk sementara, mobil bisa diparkir di sekitaran kawasan yang ditutup. Tapi, Wali Kota Jakarta Barat Djoko Ramadhan beberapa kali mengatakan, parkir kendaraan untuk kawasan Taman Fatahillah akan ditempatkan di satu kawasan lain. Dengan demikian, pengunjung ke kawasan itu semua berjalan kaki.
Secara terpisah, Kepala UPT Kota Tua Candrian Attahiyyat mengatakan, usulan untuk menutup Jalan Pos Kota saja ternyata malah diperluas hingga ke Jalan Kali Besar 3 sisi selatan dan Jalan Kunir sisi selatan.
awasan Kota Tua khusus pedestrian
PALMERAH, KOMPAS.com — Mulai Senin (20/4) ini, sejumlah jalan di kawasan Kota Tua, yakni Jalan Pos Kota dan sebagian Jalan Kali Besar Timur 3 serta Jalan Kunir, ditutup bagi kendaraan bermotor. Penutupan ini berlaku permanen, artinya selamanya.
Keputusan ini diambil bukan karena masalah kemacetan, tapi lebih pada usaha penyelamatan kawasan. Beban lalu lintas di kawasan ini harus mulai dikurangi untuk mengurangi getaran pada bangunan tua. Selain itu, juga sebagai upaya menyatukan kawasan Museum Sejarah Jakarta (MSJ) dan Taman Fatahillah dengan Museum Seni Rupa dan Keramik.
Penutupan jalan yang sudah sekitar empat bulan lalu diusulkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua ini juga menciptakan udara yang lebih bersih di Taman Fatahillah dan sekitarnya.
”Penutupan ini untuk meningkatkan kenyamanan pengunjung di kawasan Taman Fatahillah. Juga menyatukan kawasan yang selama ini dibelah oleh Jalan Pos Kota. Lihat kan, Museum Keramik sepertinya terpisah dari museum yang lain,” ujar Kepala Bidang Teknis Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dishub DKI Muhammad Akbar kepada Warta Kota, Minggu (19/4).
Dari pengalaman Warta Kota, Jalan Pos Kota tak pernah sepi kendaraan. Kendaraan seperti memacu kecepatan di jalan ini. Alhasil, untuk menyeberang dari Taman Fatahillah ke Museum Seni Rupa dan Keramik atau sebaliknya sungguh bikin repot.
Untuk Jalan Kali Besar Timur 3 dan Jalan Kunir, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI hanya menutup sisi selatan, yakni jalan yang berdekatan dengan sejumlah bangunan tua bahkan bersentuhan dengan Taman Fatahillah.
Dengan penutupan tersebut, lanjut Akbar, maka kendaraan dari arah Jalan Kali Besar atau Jalan Kopi yang akan memutar ke arah Jalan Pintu Besar Selatan atau ke arah Manggadua/Ancol diarahkan untuk melewati Jalan Kali Besar Timur 3 dan Jalan Kunir di sisi utara—tidak menusuk ke tengah dan tidak menuju ke Jalan Pos Kota. Selanjutnya masuk ke Jalan Ketumbar, Jalan Lada, dan masuk ke Jalan Lapangan Stasiun (ke jalan di depan Stasiun KA Jakartakota) .
Untuk sementara, mobil bisa diparkir di sekitaran kawasan yang ditutup. Tapi, Wali Kota Jakarta Barat Djoko Ramadhan beberapa kali mengatakan, parkir kendaraan untuk kawasan Taman Fatahillah akan ditempatkan di satu kawasan lain. Dengan demikian, pengunjung ke kawasan itu semua berjalan kaki.
Secara terpisah, Kepala UPT Kota Tua Candrian Attahiyyat mengatakan, usulan untuk menutup Jalan Pos Kota saja ternyata malah diperluas hingga ke Jalan Kali Besar 3 sisi selatan dan Jalan Kunir sisi selatan.
Berjalan kearah utara dari stasiun kota sekitar 300 meter atau kira-kira 10 menit berjalan kaki, kita akan menemui Museum Sejarah Jakarta atau sering disebut Museum Fatahillah. Di daerah tersebut juga terdapat lapangan yang luas yaitu Taman Fatahillah, sebuah alun-alun besar yang dikelilingi bangunan tua bersejarah. Berlokasi di kawasan bersejarah Taman Fatahillah Jakarta Kota, Museum Fatahillah diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 30 Maret 1974. Bangunan bergaya arsitetur kuno abad-17 menempati areal tanah seluas 13 ribu meter persegi.
Dahulu bernama Stadhuis atau Stadhuisplein, digunakan sebagai Balai Kota, pusat pemerintahan Belanda saat berkuasa di Indonesia. Di bagian dalam museum ini, ditampilkan sejarah Jakarta dari masa ke masa, selain itu juga dipamerkan hasil penggalian arkeologi, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Padjajaran. Museum ini juga terkenal memiliki koleksi yang tak ternilai harganya, yaitu meubel antik abad ke-17 dan 19, yang mencerminkan perpaduan gaya Eropa, Cina dan Indonesia, gaya hidup masyarakat Batavia waktu itu.
Meskipun ada juga keramik, gerabah hingga batu prasasti. Koleksi lainnya adalah logam zaman VOC, aneka dacin / timbangan, perabotan rumah tangga antik dari abad 17-19, benda-benda arkeologi dari masa pra-sejarah, masa Hindu Budha hingga masa Islam, meriam kuno serta bendera dari zaman Fatahillah. Juga terdapat lukisan-lukisan karya Raden Saleh, koleksi benda budaya masyarakat Betawi yang diketahui adalah merupakan masyarakat pemula yang bermukim di Jakarta. Koleksi-koleksi ini tersimpan di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin. Bahkan kini juga terdapat patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang awalnya terletak di perempatan harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis.
Di sebelah timur pintu utama Museum Fatahillah, terdapat sebuah kafe yang bernama Kafe Museum. Kafe ini merupakan sarana pelengkap dari Museum Fatahillah dengan memanfaatkan gedung tua yang berarsitektur kolonial dan penataan interiornya yang disesuaikan, dilengkapi dengan pernak-pernik yang mengingatkan kita pada masa kolonial. Yang menarik dari kafe ini adalah daftar menu makanan yang bernuansa Betawi tempo doeloe dipengaruhi beberapa budaya, seperti Cina, Arab, dan Belanda. Mulai dari Portuguese steak, ong tjai ing, kwee tiaw, tuna sandwich “van zeulen”, “east indies” chef’s, soup “Ali Martak”, sampai ikan bawal “si pitung” dan pisang goreng “Nyai Dasima” tersedia di kafe ini. Jika ingin merasakan bagaimana suasana interaksi sosial pada jaman Belanda, tidak ada salahnya untuk mampir dan menghabiskan waktu di kafe museum. Kafe ini pada saat-saat tertentu akan menyajikan traditional live music seperti tanjidor, orkes keroncong, gambang kromong, dan aneka tarian betawi, terlebih jika ada even-even khusus
Sebagai salah satu bagian yang tidak terlepaskan dari sejarah panjang kota Jakarta Museum Sejarah Jakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Museum Fatahillah memiliki peran yang penting sebagai saksi bisu perkembangan kota ini.
Terletak di ujung jalan yang sibuk atau tepatnya di Jl. Taman Fatahillah No.2 – Jakarta, gedung ini merupakan sebuah gedung tua peninggalan kolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1620-1707 atas perintah Gubernur Jendral J.P Coen semasa VOC berkuasa dengan luas bangunan 13 ribu meter persegi.
Awalnya gedung ini difungsikan sebagai kantor Balai Kota, sebelum akhirnya berubah menjadi Museum Sejarah Jakarta tanggal 30 Maret 1974.
Bangunan berbentuk persegi panjang ini cukup unik karena selain dilengkapi dengan fasilitas taman, halaman belakang gedung ini juga dibangun beberapa ruang penjara bawah tanah yang hingga saat ini masih terawat. Konon dilokasi inilah Pangeran Diponegoro pernah menjalani masa hukumannya.
Dengan membayar tiket masuk sebesar Rp2.000,- ( dewasa ) kita akan dibawa dalam suasana Jakarta Tempoe Doloe dengan pintu-pintu dan jendela berbadan lebar.
Menurut petugas piket, arsitektur gedung ini sebagian besar masih merupakan arsitektur asli yang dilengkapi dengan beberapa perangkat interior masa VOC Bagian dalam gedung Museum Jakarta dibagi dalam beberapa ruang pamer seperti seperti Ruang Prasejarah Jakarta ( berisi koleksi artefak seperti beliung dan kapak batu yang banyak ditemukan sepanjang sisi Sungai Ciliwung ), Ruang Tarumanegara & Ruang Jayakarta ( berisi arca-arca kuno dan beberapa prasasti mengenai Sunda Kelapa dan puji-pujian terhadap raja Purnawarman ) , Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan yang terakhir adalah Ruang MH Thamrin.
Selain memiliki koleksi barang-barang antik, Museum Jakarta juga menyimpan beberapa kisah tragis seperti pernah digunakan sebagai tempat hukum gantung bagi ribuan etnis Tionghoa yang terlibat dalam pemberontakan melawan kekuasaan kolonial tahun 1740 dihalaman depannya ( sekarang Taman Fatahillah )
Sebagai salah satu andalan tujuan wisata ” Kota Tua ” Pemkot DKI Jakarta gedung tua ini sangat menarik untuk dikunjungi. Lokasinya pun mudah dijangkau karena terletak tepat ditengah kawasan kota tua Jakarta. Dekat dengan stasiun kereta Kota maupun halte busway ( Blok M-Kota ).
Jika anda berkunjung dihari Minggu atau libur lainnya, akan banyak ditemukan kumpulan fotographer yang sibuk sekedar hunting maupun membuat foto-foto untuk keperluan lainnya seperti Pre weeding.
Inilah yang bisa dijadikan nilai lebih dari lokasi kota tua dan Museum Fatahillah selain dari sisi sejarah. Dimanapun anda berada arsitektur serta bentuk gedung-gedung tua dilokasi ini sangat cocok dijadikan sebagai obyek penambah koleksi foto anda.
Museum Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Gedung ini dulu adalah Stadhuis atau Balai Kota, yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Johan Van Hoorn. Bangunan balaikota itu serupa dengan Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya Barok klasik[rujukan?] dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
Museum ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
2. Koleksi
Objek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.
Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Selain itu, di Museum Fatahillah juga terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulu sempat digunakan pada zaman penjajahan Belanda.
Menyaksikan Kembali Sejarah Jakarta di Museum Fatahillah
Selamat datang di Museum Sejarah Jakarta, atau Museum Fatahillah. Dibangun tahun 1620, dengan menempati areal seluas 13 ribu meter persegi, Bangunannya bergaya arsitektur kuno abad ke-17 yang terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
Dulu, pada jaman VOC, gedung ini bernama Stadhuis atau Stadhuisplein yang digunakan oleh pemerintahan Belanda sebagai gedung Balaikota, pusat pemerintahan Belanda saat masih berkuasa di Indonesia hingga akhirnya pada tanggal 30 Maret 1974, oleh pemerintah Indonesia, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
Terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat, museum ini menyimpan banyak hal yang bisa diceritakan dari masa lalu. Mulai dari perjalanan sejarah Jakarta, hasil penggalian arkeologi di kawasan Jakarta, mebel antik dari abad ke-18, keramik, gerabah, hingga batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin. Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes(menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis.
Di masa lalu, selain berfungsi sebagai Balaikota, bangunan ini juga dijadikan sebagai penjara. Terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulunya digunakan untuk menjebloskan orang-orang yang melanggar aturan hukum pemerintah Hindia Belanda. Konon, pejuang-pejuang Indonesia seperti Pangeran Diponegoro, pernah menghuni penjara ini. Tanah lapang di depan bangunan Museum Sejarah Jakarta, dikenal dengan nama Taman Fatahillah, merupakan saksi bisu tempat dilaksanakannya eksekusi hukuman gantung bagi ribuan orang Cina yang terlibat dalam pemberontakan melawan Belanda tahun 1740.
Museum Fatahillah hanyalah salah satu di antara makin langkanya bangunan tua dan bersejarah di Ibu Kota, yang menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Indonesia terhadap pemerintah Belanda saat itu. Bangunan Museum Fatahillah ini, menorehkan banyak kenangan bagi mereka yang pernah tinggal, maupun yang hanya singgah di Jakarta tempo doeloe. Hingga kini museum ini masih dikunjungi. Tak hanya oleh wisatawan lokal, namun juga oleh wisatawan mancanegara, khususnya wisatawan Eropa.
Museum ini dibuka setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 09.00-15.00 wib. Sedangkan museum ini ditutup untuk umum setiap hari Senin dan hari besar.
Cara Mencapai Daerah Ini
Museum ini dapat dicapai dengan menggunakan busway (Blok M " Kota), kendaraan pribadi, taksi, dan angkutan umum.
Tempat Menginap
Di Jakarta banyak hotel yang dapat dijadikan pilihan sebagai tempat menginap Anda. Jika ingin lebih dekat dengan kawasan Kota Lama Jakarta, Anda dapat menjadikan hotel-hotel di sekitar daerah Kota sebagai bahan pertimbangan Anda, seperti misalnya Hotel Omni Batavia, Le Grandeur Hotel (Dusit Mangga Dua), Novotel Mangga Dua, Sheraton dan lain-lain.
Berkeliling
Anda dapat mengeliligi Museum Fatahillah dengan berjalan kaki melihat koleksi museum.
Tempat Bersantap
Di sebelah timur pintu utama museum Fatahillah, terdapat sebuah kafe yang bernama Kafe Museum. Kafe ini merupakan sarana pelengkap dari Museum Fatahillah dengan memanfaatkan gedung tua yang berarsitektur kolonial, sehingga penataan interiornya pun disesuaikan yang dilengkapi dengan pernak-pernik yang mengingatkan kita pada masa kolonial. Yang menarik dari kafe ini adalah daftar menu makanan yang bernuansa Betawi tempo doeloe yang dipengaruhi beberapa budaya, seperti Cina, Arab dan Belanda. Mulai dari portuguese steak, ong tjai ing, kwee tiaw, tuna sandwich "van zeulen", "east indies" chef's, soup "Ali Martak", sampai ikan bawal "si pitung" dan pisang goreng " Nyai Dasima" tersedia di kafe ini.
Buah Tangan
Anda dapat membeli T-shirt dan kaus, kartu pos, serta gantungan kunci sebagai cinderamata.
Yang Dapat Anda Lihat Atau Lakukan
Banyak sekali hal yang dapat dilihat dan dilakukan disini, seperti:
Berfoto-foto di sekitar museum dan Taman Fatahillah yang antik.
Mengunjungi museum-museum yang ada di sekitar Museum Fatahillah.
Mengikuti acara yang diadakan museum-museum--misalnya, dengan menonton pagelaran drama tentang cerita-cerita di masa lalu.
Tips
Patuhilah segala petunjuk dan larangan yang ada di Museum
Gunakan pakaian yang nyaman untuk digunakan, mengingat udara Jakarta yang cukup panas dan terik.
Lebih baik apabila Anda melengkapi diri dengan kacamata hitam, topi dan payung.
Jangan lupa membawa kamera untuk berfoto
Jika ingin merasakan bagaimana suasana interaksi sosial pada jaman Belanda, tidak ada salahnya untuk mampir dan menghabiskan waktu di Kafe Museum. Kafe ini pada saat-saat tertentu akan menyajikan traditional live music , seperti tanjidor, orkes keroncong, gambang keromong, dan aneka tarian betawi, terlebih jika ada event-event khusus
· MUSEUM FATAHILLAH
· Museum Fatahillah yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat dengan luas lebih dari 1.300 meter persegi.
· Sejarah
· Gedung ini dulu adalah Stadhuis atau Balai Kota, yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Johan Van Hoorn. Bangunan balaikota itu serupa dengan Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
· Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
· Arsitektur
· Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya Barok klasik dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
· Museum ini memiliki luas lebih dari 13.000 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
· Koleksi
· Objek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.
· Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Selain itu, di Museum Fatahillah juga terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulu sempat digunakan pada zaman penjajahan Belanda
· Gedung ini dulu adalah Stadhuis atau Balai Kota, yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Johan Van Hoorn. Bangunan balaikota itu serupa dengan Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara.
· Pada tanggal 30 Maret 1974, gedung ini kemudian diresmikan sebagai Museum Fatahillah.
· Arsitektur
· Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya Barok klasik dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
· Museum ini memiliki luas lebih dari 13.000 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
· Koleksi
· Objek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.
· Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Selain itu, di Museum Fatahillah juga terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulu sempat digunakan pada zaman penjajahan Belanda.
· Arsitektur
· Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya Barok klasik dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
· Museum ini memiliki luas lebih dari 13.000 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
· Koleksi
· Objek-objek yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.
· Terdapat juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis.
Pada jaman pemerintahan Belanda, Museum Fatahillah digunakan sebagai Gedung Balai Kota yang bernama Staadhuis dan merupakan gedung Balai Kota pertama di Kota Batavia yang sekarang bernama Kota Jakarta, Ibukota Negara Indonesia.
Bangunan gedung ini dibuat sama seperti Istana Dam di Amsterdam, Negara Belanda.
Bangunan gedung ini terdiri atas bangunan utama dan mempunyai dua bangunan sayap, yaitu bangunan sayap timur dan bangunan sayap barat, ditambah dengan bangunan sanding yang berfungsi sebagai ruang kantor, ruang pengadilan serta ruang bawah tanah yang digunakan untuk ruang penjara pada jaman penjajahan Belanda. Didepan bangunan gedung terdapat tanah lapang yang merupakan tempat eksekusi hukuman gantung, tanah lapang ini dikemudian hari dijadikan taman yang bernama Taman Fatahillah.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1970 gedung ini mengalami pemugaran dan pada tahun 1974, gedung ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu Ali Sadikin dengan nama Museum Fatahillah serta menempati areal tanah seluas 13 ribu meter persegi.
Koleksi Museum Fatahillah
Didalam museum ini terdapat koleksi berbagai macam benda bersejarah, seperti benda-benda budaya peninggalan masyarakat Betawi, benda arkeologi dari masa Hindu, Budha hingga Islam, bermacam-macam mebel antik, prasasti, keramik dan gerabah, uang logam jaman VOC, aneka timbangan/ dacin, lukisan-lukisan karya Raden Saleh, peta-peta kuno, foto Gubernur VOC bernama J.P. Coen, meriam kuno si Jagur.
Fasilitas Yang Tersedia Di Museum Fatahillah Dan Sekitarnya
Tersedia perpustakaan, toko cinderamata, ruang pertemuan, kafe, ruang sholat.
Didepan museum terdapat tanah lapang yaitu Taman Fatahillah.
Disekitar museum terdapat banyak penginapan, hotel, wisma.
Mengunjungi Museum Fatahillah
Museum Fatahillah cukup dekat dari Stasiun Kota, dengan berjalan kearah utara sejauh lebih kurang 300 meter sampailah ke Museum Fatahillah.
Museum Fatahillah dapat dikunjungi dengan kendaraan pribadi maupun dengan angkutan umum seperti angkutan Taksi, Mikrolet, Bis Patas dan Bis Trans Jakarta/ Bus Way jurusan Kota.
Waktu Kunjungan
Museum Fatahillah dibuka untuk pengunjung, yaitu :
Buka dari jam 09.00 WIB s/d 03.00 WIB setiap hari Selasa, Rabu, Kamis dan Minggu
Buka dari jam 09.00 WIB s/d 01.30 WIB setiap hari Jum’at
Buka dari jam 09.00 WIB s/d 01.00 WIB setiap hari Sabtu
Pada hari Senin dan Hari Besar, museum ditutup untuk umum.
Museum Fatahillah adalah kenangan tempo doeloe yang banyak meninggalkan sisa kenangan dan merupakan saksi bisu bagi banyaknya peristiwa yang terjadi tempo doeloe
Museum Fatahillah terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2 Jakarta Barat, Jakarta, Indonesia.
Museum Fatahillah dikenal juga sebagai Museum Batavia atau Museum Sejarah Jakarta.
Museum ini didirikan dengan tujuan untuk merekam perjalanan sejarah Kota Jakarta dari semenjak zaman Batavia.
Pada jaman pemerintahan Belanda, Museum Fatahillah digunakan sebagai Gedung Balai Kota yang bernama Staadhuis dan merupakan gedung Balai Kota pertama di Kota Batavia yang sekarang bernama Kota Jakarta, Ibukota Negara Indonesia.
Bangunan gedung ini dibuat sama seperti Istana Dam di Amsterdam, Negara Belanda.
Bangunan gedung ini terdiri atas bangunan utama dan mempunyai dua bangunan sayap, yaitu bangunan sayap timur dan bangunan sayap barat, ditambah dengan bangunan sanding yang berfungsi sebagai ruang kantor, ruang pengadilan serta ruang bawah tanah yang digunakan untuk ruang penjara pada jaman penjajahan Belanda. Didepan bangunan gedung terdapat tanah lapang yang merupakan tempat eksekusi hukuman gantung, tanah lapang ini dikemudian hari dijadikan taman yang bernama Taman Fatahillah.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1970 gedung ini mengalami pemugaran dan pada tahun 1974, gedung ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu Ali Sadikin dengan nama Museum Fatahillah serta menempati areal tanah seluas 13 ribu meter persegi.
Koleksi Museum Fatahillah
Didalam museum ini terdapat koleksi berbagai macam benda bersejarah, seperti benda-benda budaya peninggalan masyarakat Betawi, benda arkeologi dari masa Hindu, Budha hingga Islam, bermacam-macam mebel antik, prasasti, keramik dan gerabah, uang logam jaman VOC, aneka timbangan/ dacin, lukisan-lukisan karya Raden Saleh, peta-peta kuno, foto Gubernur VOC bernama J.P. Coen, meriam kuno si Jagur.
Fasilitas Yang Tersedia Di Museum Fatahillah Dan Sekitarnya
Tersedia perpustakaan, toko cinderamata, ruang pertemuan, kafe, ruang sholat.
Didepan museum terdapat tanah lapang yaitu Taman Fatahillah.
Disekitar museum terdapat banyak penginapan, hotel, wisma.
Mengunjungi Museum Fatahillah
Museum Fatahillah cukup dekat dari Stasiun Kota, dengan berjalan kearah utara sejauh lebih kurang 300 meter sampailah ke Museum Fatahillah.
Museum Fatahillah dapat dikunjungi dengan kendaraan pribadi maupun dengan angkutan umum seperti angkutan Taksi, Mikrolet, Bis Patas dan Bis Trans Jakarta/ Bus Way jurusan Kota.
Waktu Kunjungan
Museum Fatahillah dibuka untuk pengunjung, yaitu :
Buka dari jam 09.00 WIB s/d 03.00 WIB setiap hari Selasa, Rabu, Kamis dan Minggu
Buka dari jam 09.00 WIB s/d 01.30 WIB setiap hari Jum’at
Buka dari jam 09.00 WIB s/d 01.00 WIB setiap hari Sabtu
Pada hari Senin dan Hari Besar, museum ditutup untuk umum.
Museum Fatahillah adalah kenangan tempo doeloe yang banyak meninggalkan sisa kenangan dan merupakan saksi bisu bagi banyaknya peristiwa yang terjadi tempo doeloe
Jakarta – Dijuluki Kota Metropolitan, namun sebenarnya Jakarta pantas pula dijuluki Kota Museum. Berbagai museum ada di sini, terutama di kawasan Kota Tua Jakarta Kota. Saat ini di Jakarta terdapat lebih dari 30 museum dengan jenis-jenis yang berbeda. Museum-museum ini dikelola oleh berbagai pihak, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi pemerintah/swasta, dan kelompok/perorangan.
Pemda DKI Jakarta melalui Dinas Museum dan Pemugaran (DMP) relatif banyak mengelola museum. Museum-museum yang berada di bawah pengawasan DMP adalah Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), Museum Wayang, Museum Seni Rupa, Museum Keramik, Museum Bahari, Museum (Taman) Prasasti, Museum Tekstil, Museum (Gedung) Juang ’45, Museum MH Thamrin, serta Balai Informasi Sejarah dan Budaya Jakarta.
Jakarta merupakan sebuah kota yang memiliki periode sejarah cukup lengkap, mulai dari periode prasejarah hingga dewasa ini. Obyek-obyek dari periode itulah yang disajikan berbagai museum tadi.
Museum Sejarah Jakarta terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat. Areal museum luasnya lebih dari 13.000 meter persegi. Bangunannya bergaya arsitektur kuno abad ke-17. Dulunya gedung ini bernama Stadhuis atau Balai Kota. Museum Sejarah Jakarta berdiri pada 30 Maret 1974. Berbagai obyek yang dapat disaksikan di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-18, keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksinya terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Fatahillah, Ruang Jayakarta, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.
Ada juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Bahkan kini diperkaya dengan patung Dewa Hermes yang tadinya terletak di perempatan Harmoni dan meriam Si Jagur yang dipandang mempunyai kekuatan magis. Jangan lupa, di Museum Sejarah Jakarta terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulunya sangat menakutkan.
Di Sekitar
Tak jauh dari sini, menyeberang ke arah kiri, terdapat Museum Wayang. Letaknya di Jalan Pintu Besar Utara Nomor 27, Jakarta Barat. Semula bangunan ini bernama De oude Hollandsche Kerk. Pemakaian Museum Wayang diresmikan pada 13 Agustus 1975.
Museum Wayang memamerkan berbagai jenis dan bentuk wayang dari seluruh Indonesia, baik yang terbuat dari kayu dan kulit maupun bahan-bahan lain. Wayang-wayang dari luar negeri ada juga di sini, misalnya dari Cina dan Kamboja. Hingga kini koleksinya lebih dari 4.000 buah, terdiri atas wayang kulit, wayang golek, wayang kardus, wayang rumput, wayang janur, topeng, boneka dan gamelan. Umumnya boneka berasal dari Eropa.
Tak jauh dari Museum Sejarah Jakarta, menyeberang ke arah kanan terdapat Museum Seni Rupa dan Museum Keramik. Kedua museum ini terdapat dalam satu gedung, yaitu Balai Seni Rupa dan Keramik di Jalan Taman Fatahillah No. 1, Jakarta Barat. Museum Seni Rupa memamerkan aneka macam karya seni lukis dari berbagai aliran, seperti naturalisme, abstrak dan surealisme. Pelukis Indonesia yang karyanya tersimpan di sini antara lain Raden Saleh, Affandi, Sudjojono, dan Basuki Abdullah.
Museum Keramik menampilkan koleksi keramik lokal dan keramik asing, baik berupa hasil penggalian arkeologis maupun sumbangan dan pembelian dari berbagai pihak. Keramik Cina terbanyak jumlahnya, menyusul keramik Jepang, Siam (Thailand), Annam (Vietnam), dan Eropa.
Koleksi keramik lokal di antaranya berasal dari Kasongan, Plered, Malang, Palembang, dan Singkawang. Selain keramik tradisional juga digelar kemarik modern atau keramik kreatif hasil karya seniman-seniman Indonesia.
Agak ke utara terdapat Museum Bahari. Lokasinya di Jalan Pasar Ikan No. 1, Jakarta Barat. Museum ini menyajikan koleksi yang berhubungan dengan kehidupan kebaharian dan kenelayanan bangsa Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Koleksi-koleksi itu terdiri atas berbagai jenis perahu tradisional dengan aneka bentuk, gaya dan ragam hias. Disajikan pula berbagai model kapal modern dan perlengkapan penunjang kegiatan pelayaran. Di sisi lain ditampilkan koleksi biota laut dan aneka perlengkapan nelayan.
Di Tanah Abang
Ada juga tempat yang memamerkan prasasti makam tokoh-tokoh sejarah bangsa Indonesia. Tempat ini bernama Museum (Taman) Prasasti. Museum yang berlokasi di Jalan Tanah Abang I, Jakarta Pusat ini menyimpan pula prasasti-prasasti makam bangsa Belanda.
Tokoh bangsa Indonesia yang prasastinya ada di sini antara lain Miss Riboet (tokoh sandiwara) dan Soe Hok Gie (tokoh mahasiswa). Sementara prasasti tokoh bangsa Belanda adalah Dr. WF Stutterheim (ahli arkeologi), Dr. HF Roll (pendiri Stovia), dan JHR Kohler (tokoh Perang Aceh).
Masih di kawasan Tanah Abang, di Jalan KS Tubun No. 4, Jakarta Pusat, kita dapat berkunjung ke Museum Tekstil. Museum ini memamerkan pola, ragam hias batik, dan aneka tekstil yang didapat dari segenap penjuru Nusantara. Alat tenun tradisional ikut memperkaya khasanah koleksi museum ini. Banyak jenis tekstil tidak dipamerkan museum ini karena sudah terlalu tua umurnya.
Di kawasan Menteng terdapat Museum (Gedung) Juang ’45. Museum yang lokasinya di Jalan Menteng Raya No. 31, Jakarta Pusat, ini memamerkan foto-foto dokumentasi sejarah perjuangan bangsa kurun waktu 1945-1950. Terdapat juga sejumlah lukisan perjuangan, patung tokoh pejuang dan panji. Koleksi lainnya berupa mobil REP1 dan REP2, mobil dinas resmi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
Dua museum lain yang dikelola DMP adalah Museum MH Thamrin serta Balai Informasi Sejarah dan Budaya Jakarta. Museum MH Thamrin yang terletak di Jalan Kenari, Jakarta Pusat, ini memamerkan foto-foto dokumentasi perjuangan MH Thamrin dalam mencapai kemerdekaan. MH Thamrin sendiri adalah nama pejuang Jakarta yang namanya antara lain diabadikan untuk proyek pembuatan jalan kampung dan nama jalan protokol.
Sementara itu Balai Informasi sejarah dan Budaya Jakarta berlokasi di Jalan Silang Monas Utara, Jakarta Pusat. Koleksinya meliputi foto-foto dan miniatur benda-benda tentang sejarah, rencana pengembangan kota serta budaya Jakarta.
Karena ditangani instansi pemerintah (daerah), museum-museum ini tampak kurang menggigit. Minimnya dana perawatan dan tenaga pengelola sangat terasa. Banyak koleksi museum kurang terpelihara dan tersaji dengan apik. Debu, misalnya, masih terbalut di banyak koleksi. Minimnya penerangan masih dijumpai di banyak ruangan. Informasi tentang koleksi yang seadanya kerap kali membingungkan pengunjung.
Sebagai Kota Budaya tentu pihak berwenang harus meningkatkan kualitas museum. Dengan demikian wisata museum di Jakarta akan berkembang karena mengundang pesona para wisatawan. Apalagi museum adalah etalase ilmu pengetahuan sekaligus obyek wisata pendidikan dan budaya.
Anda juga bisa liat - liat tentang kota tua di :
http://www.situskotatua.com
http://www.jelajahbudaya.blogspot.com
kalo ada yang tau webnya kota tua kasih tau yup....
0 komentar:
Posting Komentar